Suara.com - Pelaku penganiayaan anak, Meita Irianty dihukum 1 tahun penjara dan restitusi Rp300 juta oleh Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Vonis kepada terdakwa kasus penganiayaan balita berusia 2 tahun berinisial MK dan AM berusia 9 bulan di Daycare Wensen School Indonesia, Depok itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum atau JPU.
JPU dari Kejaksaan Negeri Depok menuntut pemilik Daycare Wensen School Indonesia tersebut dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan restitusi sebesar Rp600 juta. Dalam persidangan pada Rabu, 11 Desember 2024 kemarin, Hakim Ketua Bambang Setyawan membeberkan salah satu pertimbangan menjatuhkan vonis lebih ringan karena Meita sedang hamil.
"Keadaan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa saat ini sedang hamil kondisi 8 bulan, terdakwa merasa bersalah, menyesali perbuatannya, dan tidak akan mengulanginya lagi,” kata Hakim Bambang saat membacakan amar putusan.
Vonis ringan dikritik Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Dewan Pengurus Pusat Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan Hak Anak Komnas PA, Lia Latifah khawatir vonis ringan yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku itu berpotensi menimbulkan peristiwa kekerasan terhadap anak terus berulang.
"Kalau penegak hukum dari pengadilan itu tidak bisa memberikan dampak efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," kata Lia kepada Suara.com, Jumat (13/12/2024).
Kekhawatiran Lia bukan tanpa alasan. Musababnya, setelah peristiwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan Meita pada Agustus 2024 lalu, kejadian serupa terus berulang di beberapa daerah; seperti di Kota Pekanbaru, Riau dan Medan, Sumatera Utara. Bahkan yang terbaru terjadi di Daycare Kiddy Space cabang Pengasinan, Depok.
Seorang pengasuh di Daycare Kiddy Space bernama Seftyana tega menyiram air panas ke anak asuhnya berinisial KCB yang masih berusia 1 tahun 3 bulan. Peristiwa kekerasan ini terjadi pada Senin, 2 Desember 2024 lalu. Akibat kulit punggung korban hingga leher mengelupas. Belakangan, pelaku mengaku khilaf lantaran kesal korban tak berhenti menangis saat bangun tidur karena buang air besar.
Kapolres Metro Depok Kombes Arya Perdana menyebut Seftyana telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik menjerat perempuan berusia 31 tahun itu dengan Pasal 80 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Menurut Lia, aparat penegak hukum dan pengadilan semestinya dapat menjatuhkan hukuman maksimal kepada para pelaku kekerasan anak. Alasannya, selain untuk memberikan efek jera, kejahatan yang mereka lakukan memiliki dampak trauma yang luar biasa baik terhadap anak selaku korban dan juga orang tua.
"Kalau karena dia sedang mengandung dan dengan segala macam alasan itu kemudian diringankan, menurut kami di Komnas Perlindungan Anak itu bukan jadi satu alasan patokan," jelas Lia.
Pengawasan Lemah
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati justru mempertanyakan peran pemerintah dalam melakukan pengawasan. Selain juga menekankan bahwa pemerintah semestinya memiliki tanggung jawab untuk menjamin akses daycare aman bagi anak-anak.
"Bagi kami sebenarnya concernya bukan soal hukuman berat untuk satu pelaku, tapi apa yang kemudian dievaluasi oleh pemerintah pasca kasus ini," ungkap Maidina kepada Suara.com, Jumat (13/12).
Kepala Bidang Pendidikan Usia Dini Dinas Pendidikan Depok, Suhyana telah mengakui Daycare Kiddy Space tidak mengantongi izin alias ilegal. Dia mengklaim, sejak kasus yang diterjadi di Daycare Wensen School Indonesia pihaknya telah melakukan penertiban terhadap daycare-daycare yang belum mengantongi izin untuk melengkapi administrasinya.
Berdasar data, sejauh ini baru ada 15 daycare yang telah mengantongi izin dari Pemerintah Kota Depok. Sedangkan, 48 lainnya masih dalam proses perlengkapan berkas.
"Kejadian ini yang kesekian kalinya. Kami bertekad dalam memperketat pengawasan, termasuk dengan melakukan sidak lapangan,” katanya.
Kelengkapan administrasi kelembagaan sebuah daycare menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpengaruh terhadap jaminan kualitas pelayanan. Di samping aspek lainnya, seperti kualitas sumber daya manusia atau SDM dan program pelayanannya.
KPAI pada 2019 lalu pernah melakukan riset terkait Pengawasan Kualitas Pemenuhan Anak pada TPA dan Taman Anak Sejahtera (TAS). Survei dilakukan terhadap 75 TPA dan TAS yang tersebar di 20 kabupaten/kota di sembilan provinsi meliputi Aceh, Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Yogyakarta.
Dari hasil survei itu ditemukan 44 persen daycare tidak memiliki izin. Sedangkan 30,7 persen lainnya hanya mengantongi izin operasional, 12 persen hanya memiliki tanda daftar, dan 13,3 persen hanya sekadar berbadan hukum.
Selain itu, KPAI juga menemukan 66,7 persen pegawai pelayanan pada daycare tidak bersertifikat. Bahkan beberapa daycare ditemukan memperkerjakan tenaga pengasuh yang masih berstatus anak.
Komisioner KPAI bidang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Ai Rahmayanti mendesak Pemerintah Kota Depok benar-benar meningkatkan perannya dalam melakukan pengawasan. Selain memberikan sanksi tegas bagi lembaga layanan pengasuhan yang melanggar hak anak.
Sementara penyelenggara lembaga layanan pengasuhan juga wajib taat pada regulasi, legalitas kelembagaan, standarisasi kurikulum, SDM, sarana prasana, hingga layanan pengasuhan. Prosedur-prosedur itu penting dijalankan demi menjamin akses aman bagi anak-anak.
“Melihat perkembangan penyelenggaraan pengasuhan alternatif di masyarakat yang terus bertambah, tentu secara konsep maupun kualitas juga ikut berkembang maupun berbeda-beda. Maka harus ada alat ukur tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penerapan standar nasional,” kata Ai Rahmayanti.
Tak hanya itu, Ai Rahmayanti menilai perlu ada koordinasi dan sinergi antara kementerian dan lembaga terkait. Seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), dan pihak lain yang memiliki kewenangan dalam layanan pengasuhan.
Sementara untuk meningkatkan kualitas layanan, kata dia, diperlukan evaluasi terkait pengaturan, standarisasi, pelatihan dan pendampingan pengelolaan lembaga pengasuhan alternatif. Ia berharap dengan begitu kejadian kekerasan terhadap anak asuh di lembaga pengasuhan tidak kembali terulang.
"Diperlukan pengarusutamaan perspektif perlindungan anak dan pemenuhan hak anak, serta pendampingan hingga pelatihan bagi SDM pengelola," pungkasnya.
Potensi semakin suburnya tindak pidana korupsi akan turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Edi ziarah ke makam tanpa nisan untuk mengenang 20 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.
"Ternyata hukum syariat tidak mengganggu, membatasi, mereduksi kami punya eksistensi. Kami bisa berekspresi, ujar Baron.
Tak tanggung-tanggung, KPK menjerat Hasto dengan dua perkara sekaligus
Kasus pembungkaman seniman di Indonesia bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Butet Kertaradjasa mengalami hal serupa.
Klaim Haryono membantu Anton dalam peristiwa pembunuhan Budiman karena berada di bawah tekanan itu perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya dalam persidangan.
Benarkah penyidik telah mengantongi informasi dan bukti awal terkait keterlibatan Budi Arie dalam perkara tersebut?