Suara.com - Kasus perampokan dan pembunuhan sopir ekspedisi di Palangka Raya, Kalimantan Tengah menjadi sorotan. Bukan semata-mata karena pelakunya polisi, kasus ini mencuri perhatian publik lantaran pelapor sekaligus saksi mata justru turut ditetapkan sebagai tersangka.
Bagaimana kronologi pembunuhan ini? mengapa pelapor sekaligus saksi kunci malah yang ditetapkan tersangka?
MUHAMMAD Haryono (37) tak menyangka akan berurusan dengan hukum. Warga Palangka, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah itu ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap turut membantu polisi bernama Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto membunuh dan merampok sopir ekspedisi bernama Budiman Arisandi.
Peristiwa pembunuhan yang turut melibatkan Haryono ini terungkap setelah warga menemukan mayat tanpa identitas di kawasan kebun sawit Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada 6 Desember 2024. Empat hari setelah itu, Haryono melapor ke Polresta Palangka Raya dan mengaku sebagai pihak yang membuang jasad bernama Budiman Arisandi itu atas perintah Anton.
Berbekal laporan Haryono, penyidik dari Satuan Reserse Kriminal Polresta Palangka Raya kemudian menangkap Anton pada 14 Desember 2024. Anggota Satuan Sabhara Polresta Palangka Raya yang telah dikenakan sanksi pemecatan itu lalu ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik menjeratnya dengan Pasal 365 Ayat (4) KUHP dan/atau Pasal 338 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal berupa hukum penjara seumur hidup atau hukuman mati. Sedangkan Haryono dijerat dengan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP lantaran dinilai turut serta dalam tindak pidana pembunuhan.
Kuasa hukum Haryono, Parlin Bayu Hutabarat mengklaim kliennya tidak pernah mengetahui rencana Anton sejak awal. Ia menceritakan pada 26 November 2024, Anton awalnya menghubungi Haryono dan meminta dijemput di depan Museum Balanga, Jalan Tjilik Riwut, Trans Kalimantan.
Sehari-hari Haryono memang berprofesi sebagai sopir taksi online. Sejak satu bulan, Anton kerap menggunakan jasa Haryono secara pribadi untuk antar jemput kerja.
Pada hari itu setibanya di depan Museum Balanga, Anton meminta Haryono untuk mengendarai mobil Daihatsu Sigra miliknya. Mereka berkeliling tanpa tujuan yang jelas. Sampai pada akhirnya pada Rabu, 27 November 2024 pagi, Haryono meminta Anton untuk kembali ke Palangka Raya karena mengaku dihubungi istrinya yang bertanya soal keberadaannya.
Dalam perjalanan dan setibanya di Palangka Raya, Anton lalu meminta Haryono untuk mengarah ke daerah Tangkiling. Di tengah perjalanan Anton tiba-tiba meminta Haryono berhenti setelah melihat mobil bak terbuka Daihatsu Gran Max milik Budiman terparkir di tepi Jalan Tjilik Riwut KM 39.
Menurut keterangan Haryono, Anton ketika itu memperkenalkan diri sebagai anggota Polda Kalimantan Tengah kepada Budiman dan memberi informasi ihwal adanya pungutan liar atau pungli di Pos Lantas 38. Budiman yang merupakan kurir ekspedisi asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu kemudian diajak Anton ke Pos Lantas 38 untuk membuktikan adanya pungli tersebut. Budiman awalnya sempat menolak. Tapi akhirnya menurut dan duduk di kursi depan kiri di sebelah Haryono yang mengemudikan mobil Daihatsu Sigra.
Dalam perjalanan menuju Pos Lantas 38, Anton meminta Haryono untuk putar arah. Tiba-tiba tak lama setelah itu terdengar suara tembakan. Saat tembakan pertama terjadi Anton menurutnya juga sempat memukul Haryono.
"Dibilang oleh Anton, 'kamu harus berani'," kata Parlin mengulang cerita Haryono. "Setelah itu enggak lama tembakan kedua."
Setelah peristiwa pembunuhan itu terjadi, Anton lalu membuang jasad Budiman ke kawasan kebun sawit Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Parlin mengakui Haryono ketika itu ikut membantu memegang kaki jasad korban agar lebih mudah diangkat saat dibuang lantaran ketakutan. Anton dan Haryono lalu mencari genangan air untuk membersihkan bercak darah yang menempel di karpet mobil.
Setelah itu Anton menyuruh Haryono untuk membawa mobil Daihatsu Gran Max milik Budiman. Sore harinya, Anton mengantar pulang Haryono ke rumah. Sedangkan mobil Gran Max milik Budiman dibawa seseorang berinisial P. Belakangan P diketahui merupakan saksi yang diminta tolong Anton untuk mencarikan penadah.
Sehari setelah kejadian pembunuhan itu, pada 28 November 2024, Anton kembali menghubungi Haryono. Ia meminta Haryono untuk mencuci mobil Daihatsu Sigra miliknya. Pada saat bersamaan Anton juga mengirimkan uang Rp15 juta. Namun Haryono mengembalikannya Rp10 juta. Uang Rp5 juta itu kemudian ia pergunakan untuk mencuci, mengganti karpet dan jok mobil.
"Haryono beli jok mobil dan karpet baru habis Rp3,5 juta. Tapi sisanya dikembalikan semua ke Brigadir Anton," tutur Parlin.
Trauma dan Ketakutan
Yuliani istri Haryono menyebut suaminya pada 27 November 2024 pulang ke rumah dalam kondisi murung. Wajahnya tampak pucat. Sesekali pria berusia 37 tahun itu bahkan terlihat tertawa dan berbicara sendiri.
"Nggak mau makan, kalau makan harus saya suapin,” ujar Yuliani.
Perubahan sikap Haryono itu membuat Yuliani penasaran. Pelan-pelan ibu dua anak itu mencoba menenangkan dan meyakinkan suaminya tersebut agar mau bercerita. Beberapa hari kemudian tepatnya pada 10 Desember 2024, Haryono akhirnya bercerita bagaimana peristiwa pembunuhan Budiman yang dilakukan Anton itu terjadi.
Yuliani yang mendengar penuturan Haryono itu terkejut. Di tengah perasaan bersalah Haryono, mereka bersama-sama berinisiatif untuk melaporkan kejadian itu ke Polresta Palangka Raya. Tujuannya saat itu tidak lain agar pelaku dapat segera diadili. Tapi nyatanya, Haryono justru ikut ditetapkan sebagai tersangka.
“Kami mau mengungkap kebenaran, tapi malah jadi tersangka,” jelas Yuliani.
Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah Kombes Erlan Munaji menjelaskan alasan di balik penetapan tersangka Haryano. Penetapan tersangka itu menurutnya dilakukan penyidik Ditreskrimum Polda Kalimantan Tengah berdasar sejumlah barang bukti yang menunjukkan adanya dugaan keterlibatan Haryono dalam peristiwa pembunuhan ini.
Erlan menyebut dari hasil penyidikan diketahui bahwa Anton sejak awal menghubungi Haryono dan mengajak bertemu di depan Museum Balanga untuk mencari mobil yang tidak ada surat-suratnya. Selain itu penyidik juga menemukan bukti di mana Haryono turut berperan membantu Anton saat membuang jasad Budiman.
"H juga membantu memindahkan posisi senjata api dari dashboard mobil ke bawah kursi tempat duduk korban, atau di depan tersangka AK yang duduk di kursi tengah," jelas Erlan dalam keterangannya dikutip Suara.com, Senin (23/12/2024).
Selain membantu memindahkan senjata api dan membuang jasad Budiman, hasil penyidikan menunjukan Haryono turut membantu membersihkan bukti bercak darah di dalam mobil menggunakan genangan air bersama Anton di pinggir jalan antara Katingan dan Palangka Raya. Lalu mencuci mobil tersebut hingga membantu menurunkan barang-barang di dalam mobil Gran Max milik Budiman.
Uang transferan sebesar Rp15 juta yang dikirim Anton kepada Haryono juga dijadikan penyidik sebagai bukti untuk menjeratnya sebagai tersangka. Walaupun sisa uang sebesar Rp11,5 juta itu kemudian dikembalikan Haryono kepada Anton.
"Berdasarkan fakta di lapangan dan persesuaian dengan alat bukti yang ditemukan, tim penyidik ditreskrimum menetapkan H sebagai tersangka," ungkap Erlan.
Klaim Overmacht Perlu Dibuktikan
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Albert Aries menjelaskan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP penetapan seorang sebagai tersangka oleh penyidik harus merujuk dua alat bukti yang sah. Dalam tahap penyidikan Aries menyebut, memang tidak ada pembuktian dalam arti yang sebenarnya. Penyidik umumnya hanya sebatas mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu perkara dan menentukan tersangka, meski dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
"Berbeda dengan di pengadilan, meski beban pembuktian ada di pihak penuntut umum, terdakwa boleh mengajukan semua alat bukti untuk membantah dakwaan dan bahkan mengambil beban pembuktiannya," jelas Aries kepada Suara.com, Senin (23/12).
Sehingga, kata Aries, klaim Haryono yang mengaku membantu Anton dalam peristiwa pembunuhan Budiman karena berada di bawah tekanan itu perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya dalam persidangan. Apabila unsur adanya pengaruh tekanan itu bisa dibuktikan, maka itu masuk dalam kategori overmacht.
Overmacht atau daya paksa dalam hukum pidana adalah keadaan di mana seseorang dipaksa melakukan perbuatan yang dilarang karena adanya kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Berdasar Pasal 48 KUHP dijelaskan, pelaku yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tersebut tidak dapat dipidana.
Aries menilai klaim adanya tekanan atau daya paksa tersebut perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya. Sebab Haryono belakangan justru diketahui telah mengajukan diri sebagai justice collaborator atau JC ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ini tentu akan berbeda konteksnya, karena JC artinya secara tidak langsung ia mengakui keterlibatannya, tapi bukan sebagai pelaku utama dan dengan iktikad baik bersedia mengungkap tindak pidana tersebut," terang Aries.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam juga menilai permohonan Haryono untuk menjadi JC perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Salah satunya, apakah keterangan yang diberikan Haryono benar-benar berdampak signifikan dalam pengungkapan kasus ini. Pasalnya, dalam kasus ini peristiwa dan landasan hukumnya sudah sangat jelas.
Kecuali, kata Anam, Haryono memiliki informasi penting lain di balik pembunuhan yang melibatkan Anton tersebut. Jika seperti itu, menurutnya informasi tersebut bisa menjadi dasar pertimbangan LPSK dan hakim untuk menerima permohonan JC.
"Jadi kalau saya yang paling penting bukan soal layak dan tidak layak. Tapi seberapa signifikan berkontribusi terhadap membongkar kejahatannya," ujar Anam dalam keterangannya dikutip Suara.com, Senin (23/12).
Sementara Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias mengatakan bahwa pihaknya masih mendalami dan menelaah permohonan JC Haryono. Kekinian tim LPSK juga tengah melakukan pengumpulan informasi di lapangan. Proses pendalaman dan penelaahan ditarget rampung dalam waktu sepekan.
"Kami akan dalami dan telaah semuanya sehingga kami bisa dapat kesimpulan apakah Haryono dapat diberikan status JC atau tidak," jelas Susilaningtias kepada Suara.com, Senin (23/12).
Tak tanggung-tanggung, KPK menjerat Hasto dengan dua perkara sekaligus
Kasus pembungkaman seniman di Indonesia bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Butet Kertaradjasa mengalami hal serupa.
Benarkah penyidik telah mengantongi informasi dan bukti awal terkait keterlibatan Budi Arie dalam perkara tersebut?
Tak jarang peziarah mengalami kejadian mistis di kuburan massa Gampong Siron.
Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.
Prabowo menyatakan bakal memberikan maaf kepada koruptor asal mereka mengembalikan uang negara yang telah dicuri.
Sejumlah 34 persen atau tiga dari 10 pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental.