Suara.com - Tinggal menghitung hari lagi, tahun 2024 akan berakhir dan berganti dengan tahun selanjutnya, yakni 2025. Biasanya, tradisi masyarakat akan mengadakan perayaan di malam tahun baru.
Banyak dari mereka memilih untuk merayakan tahun baru bersama keluarga dan orang terkasih di rumah maupun di tempat indah lainnya.
Tak sedikit dari mereka menganggap perayaan malam tahun baru sebagai kegiatan wajib yang harus dilakukan. Dengan mengadakan perayaan tersebut, mereka berharap agar kehidupan di tahun selanjutnya akan berjalan lebih baik.
Namun, apakah perayaan malam tahun baru boleh dilakukan oleh umat islam? Bagaimana pandangan para ulama? Berikut penjelasannya.
Baca Juga: Isi Malam Tahun Baru dengan Ibadah: Ini Doa dan Amalan yang Dianjurkan
Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Para Ulama:
Pendapat Ustaz A Zaein Misbaahuddin
Menurut Ustaz A Zaein Misbahuddin, merayakan tahun baru boleh dilakukan. Pendapatnya tersebut didasari dengan pandangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya yang berjudul Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj.
Al-Haitami mengungkapkan bahwa tidak terdapat pandangan ulama mazhab Syafi'i mengenai ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun, dan pergantian bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa hukumnya adalah mubah alias diperbolehkan.
"Sehingga menurut pendapatku, ucapan selamat tersebut hukumnya adalah mubah (diperbolehkan), bukan sunnah dan bukan pula bid’ah," tulis Ustadz Zaeni mengutip Al-Haitami.
Baca Juga: Pandangan Ulama Terhadap Perayaan Tahun Baru Masehi dan Alternatif Sesuai Islam
Buya Yahya tidak mempermasalahkan jika umat islam menggunakan kalender masehi atau kalender yang saat ini digunakan oleh hampir semua orang di muka bumi.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah hindari melakukan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang kafir.
Bagi pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah tersebut, merayakan malam tahun baru masehi sebaiknya tidak dilakukan apalagi disertai dengan perbuatan maksiat.
"Apa yang dilakukan oleh umat Muslim saat itu? Berhura-hura, berfoya-foya dan yang banyak merayakan ini adalah orang di luar Islam sana karena bangga dengan tahun baru mereka. Kemaksiatan di dalamnya jadi yang kita hentikan adalah kebiasaan-kebiasaan jelek," ujar Buya Yahya.
Ustaz Abdul Somad (UAS)
Setali tiga uang dengan Buya Yahya, Ustaz Abdul Somad juga memperbolehkan umat islam menggunakan alat buatan nonmuslim termasuk kalender masehi.
Akan tetapi, dilarang keras bagi umat muslim mengikuti ritual maupun ibadah orang kafir. Termasuk dengan kegiatan hura-hura yang biasanya dilakukan di malam pergantian tahun baru.
"Tapi ketika sudah masuk dalam ritual, ibadah, meniup terompet, itu sudah masuk dalam ritual. Menyalakan lilin itu ritual, apalagi membuang waktu. Apalagi sampai membawa anak gadis orang bukan mahram," kata UAS.
UAS menambahkan, jika ingin merayakan tahun baru, maka sebaiknya dirayakan dengan beribadah di masjid.
Ustaz Khalid Basalamah
Bagi Ustaz Khalid Basalamah, umat muslim sebaiknya tidak ikut-ikutan merayakan pergantian tahun baru.
Menurutnya, tidak ada riwayat Nabi tentang perayaan tahun baru sehingga tidak harus dilakukan oleh umat muslim.
"Coba, ada yang punya riwayat satu aja, Nabi pernah merayakan malam tahun baru 1 Muharram, tidak pernah satu kalipun Nabi merayakan tahun baru Islam 1 Muharram, tidak pernah ada malam lebarannya," ujar Ustaz Khalid Basalamah.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, setiap pergatian waktu termasuk tahun baru. Momen tersebut sangat penting sehingga diharapkan umat muslim introspeksi diri, meningkatkan amal kebaikan, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.
UAH mengatakan jika sebaiknya tidak merayakan tahun baru dengan perbuatan yang sia-sia seperti kebanyakan orang lakukan.
"Daripada lakukan hal-hal yang tidak berguna, pesta pora, apalagi yang mengarah pada kemaksiatan, alangkah baiknya jika tahun baru diisi dengan mengoreksi diri. Koreksi diri dari yang salah, tinggalkan segala yang Allah larang, dan kembali kepada jalan kebaikan yang ditunjukkan dalam Al Quran dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAW," paparnya dikutip dari laman pwmjateng.
Kontributor : Damayanti Kahyangan