Suara.com - Tren kekerasan di dunia pendidikan ditemukan terus alami kenaikan selama lima tahun terakhir. Catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat kalau angka kekerasan di sekolah sejak 2020 hingga 2024 alami kenaikan secara signifikan.
Pada 2020 terdapat 91 kasus kekerasan. Kemudian naik menjadi 142 kasus di 2021, pada 2022 ditemukan 194 kasus, dan terus naik menjadi 285 kasus pada 2023.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matarji mengungkapkan, tren kekerasan di sekolah kemudian naik dua kali lipat pada tahun 2024 menjadi 573 kasus.
"Bila satu tahun terdapat 366 hari, sedangkan jumlah kasus kekerasan mencapai 573, maka bisa dikatakan bahwa setiap hari minimal ditemukan satu kasus kekerasan di lembaga pendidikan," kata Ubaid saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Temuan kasus-kasus itu berdasarkan pantauan JPPI dari laporan di media massa serta laporan yang mereka terima langsung dari masyarakat melalui pengaduan di media sosial juga website.
Dilihat dari sebaran daerahnya, Ubaid mengatakan lima besar kasus kekerasan terjadi di Pulau Jawa. Di antaranya, Jawa Timur (81 kasus), Jawa Barat (56 kasus), Jawa Tengah (45 kasus), Banten (32 kasus), dan Jakarta (30 kasus).
Tidak hanya sekolah, kasus kekerasan juga banyak ditemukan di madrasah dan pesantren. Meski memang didominasi terjadi di sekolah.
"Angkanya, 60 persen terjadi di lingkungan sekolah, 16 persen madrasah, dan 20 persen pesantren. Padahal mestinya, sekolah berasrama, seperti pesantren, harusnya pengawasan 24 jam. Namun nyatanya lebih rawan," ujar Ubaid.
Tempat kejadian perkara kasus kekerasan juga bisa terjadi di mana-mana, baik di dalam sekolah maupun luar sekolah. Ubaid menambahkan, tempat yang paling rawan terjadi kekerasan justru di dalam sekolah. Jumlahnya mencapai 58 persen. Sementara kejadian di luar sekolah terdapat 27 persen.
Baca Juga: Dibidik usai Hasto Tersangka, Pencekalan Yasonna Laoly Dianggap Tak Biasa, Mengapa?
Kemudian kekerasan di dalam sekolah berasrama dan pesantren terdapat 15 persen.