Sri Dewi tak pernah lupa perundungan yang dialami saat mengidap penyakit Hansen alias kusta pada tahun 2013 lalu. Ia mengaku masyarakat tak senang keberadaan dirinya. Ini karena kusta dinilai penyakit yang menular, berbahaya, yang dapat menyebabkan kematian. Hal itu membuat ia dilarang untuk bergaul dengan masyarakat di kampung halamannya di Gowa, Sulawesi Selatan.
Tak cukup itu, perempuan yang akrab dipanggil Dewi ini juga mengalami pengasingan. Ia ditempatkan di kampung khusus di mana hampir seluruh penghuninya adalah orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Kondisi itu membuat Dewi kian tertekan. Ia merasa hidupnya sudah tak berdaya. “Saya syok,” ujar Dewi saat ditemui di sebuah kafe di Makassar, 31 Oktober 2024 lalu.
Perempuan usia 32 tahun itu menceritakan pada mulanya mengalami alergi yang tak kunjung sembuh pada 2013 lalu. Ia memutuskan untuk pergi klinik terdekat dari rumahnya. Petugas medis yang memeriksanya meminta Dewi menunjukkan bagian yang disebut alergi itu.
Petugas medis melihat adanya bercak pada kulit. Menyadari ada yang janggal, petugas itu lantas mengoleskan kapas yang telah dilumuri alkohol. Dewi merasa tak merasakan sesuatu. Kulitnya mati rasa. Dewi diminta datang ke Puskemas untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Di Puskesmas, Dewi diarahkan ke ruangan dokter. Ia menunjukkan bercak putih yang menempel di kulit. Dokter yang memeriksanya kemudian menyampaikan Dewi mengalami kusta.
“Dia bilang kalau saya ini terkena penyakit kusta. Saya kaget, Mama saya juga syok. Mama tidak banyak bicara tapi dari ekspresinya saya tahu dia sama terpuruknya dengan saya,” cerita Dewi.
Saat kondisi terpuruk, petugas medis yang menangani Dewi memberikan penguatan. Namun, pikiran Dewi tak fokus pada penjelasan dokter. Ia memikirkan bahaya kusta yang mengakibatkan kecacatan serta stigma masyarakat mengenai kusta membuat dunianya runtuh.
“Saya takut bagaimana kalau orang tahu saya kusta. Bagaimana kalau tubuh saya yang normal menjadi cacat. Siapa yang mau sama saya nanti. Itu yang saya pikirkan saat itu,” ucap ibu satu anak itu.
Kecamuk emosi Dewi membuat tiga petugas medis mencoba menenangkan pikirannya. Dewi mengingat bagaimana para petugas itu menyampaikan dengan hati-hati bahwa kusta dapat disembuhkan dengan minum obat. Dewi pun sedikit tenang dan berjanji mengikuti saran tersebut.
Sepulang dari Puskesmas, ia meminum obat seperti saran dokter. Tubuh Dewi mengalami reaksi. Saat itu kondisinya parah. Kulitnya menjadi hitam kemerah-merahan kering dan bersisik. Badannya juga bengkak.
Kondisi itu membuat Dewi menghabiskan hari-harinya di dalam kamar. Sesekali ia melihat ke luar dari jendela. Sekejap kemudian ia menutup jendela. Ia takut warga melihatnya.
Suatu hari, seorang sahabat Dewi mengetahui bahwa Dewi sakit. Saat itu temannya banyak yang menjenguk. Selain iba, tak sedikit rekannya mencibirnya karena tubuhnya mengalami perubahan drastis. Kondisi itu membikinnya kian terpuruk.
“Jadi kalau ada yang datang itu (jenguk) saya selalu masuk kamar. Saya sampaikan ke Mama kalau saya malu ketemu dengan orang. Jadi kalau ada yang datang, Mama selalu bikin alasan supaya mereka tidak masuk ke kamar,” kenangnya.
Dewi mencoba untuk bertahan hidup. Ia menghabiskan semua obat yang diberikan oleh dokter. Ia kemudian menyelesaikan pengobatan pada 2014 lalu. Dewi kemudian dianggap sudah sembuh.
Namun meski sudah 10 tahun sembuh dari kusta, Dewi terkadang masih mengalami stigma di lingkungan kerabatnya. Ia merasa asing dan tak dianggap. Berbagai pengalaman terakumulasi dalam ingatannya dan lingkungan tertentu membawanya pada situasi tidak nyaman dan merasa tidak berarti.
“Beda kalau saya sama teman-teman OYPMK di PerMaTa. Itu mereka seperti keluarga. Atau sama orang yang memahami kusta itu saya bisa dengan nyaman membicarakan kusta, seperti saat ini,” jelasnya. PerMaTa adalah Perhimpunan Mandiri Kusta, organisasi yang didirikan oleh para OYPMK untuk bisa saling menguatkan.
Proses Dewi bisa bangkit sebab dukungan OYPMK di PerMaTa. Pada 2018 lalu ia mulai tergabung dalam lembaga tersebut, meskipun baru aktif di 2021. Dia berproses dalam pengembangan dirinya. Pembekalan pengetahuan tentang kusta. Berjejaring dengan OYPMK ia kemudian didapuk menjadi konselor untuk menyemangati orang yang masih mengalami kusta.
Melalui PerMaTa, Sri merasakan hidup yang lebih bermakna. Merasa bisa menemukan kesejahteraan emosional sekaligus bisa membantu kelompok rentan, OYPMK. Tak hanya berkaitan dengan isu kusta tetapi juga dalam upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusianya.
Kondisi serupa juga dialami oleh OYPMK di pedalaman Bulukumba. Rosbia, perempuan paruh baya di Desa Bontomangiring ini sempat dijauhi tetangganya karena dampak kusta pada tubuhnya sedang parah kala itu. Beberapa orang yang dianggapnya dekat sering memperingatkan tamunya untuk tidak mengunjunginya. Masyarakat sebagian berfikir bahwa dirinya bisa menjadi sumber penyakit kronis.
“Tetanggaku ada yang bilang jangan minum kopi di situ nanti ditulari juga kusta. Ada juga yang bilang jangan beli ikannya Deng Roa (suaminya) karena istrinya kena penyakit kandala,” ungkapnya.
Sekalipun dia telah dinyatakan sembuh, namun proses menerima diri diakuinya tidak mudah. Sering tidak mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya karena masih ada ketakutan penolakan. Namun melalui pendampingan PerMaTa, pelan-pelan dia mulai menerima keadaan dan berusaha pulih dari dalam.
Ketua PerMaTa Indonesia, Alkadri menyampaikan tak mudah mengubah stigma yang alami kusta. PerMaTa melakukan diskusi yang panjang dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia agar legitimasi stigma kusta lenyap.
“Banyak yang meyakini bahwa jika ingin mengubah pola pikir maka salah satunya cara adalah mengubah terminologinya. Menurut kami di PerMaTa (OYPMK) sangat positif untuk kami gunakan dalam upaya mengubah pola pikir masyarakat tentang penyakit kusta,” ungkapnya, Kamis, 12 Desember 2024 saat dihubungi lewat whatsapp.
Terminologi baru ini, kata Alkadri, dirumuskan sejak 2007 lalu. Kemudian OYPMK efektif digunakan pada 2009 akhir hingga kini. OYPMK penghalusan bahasa dianggap bisa membantu menggerus stigma. Pandangan negatif dan pemahaman yang keliru mengenai kusta membuat orang-orang sering salah kaprah.
Seolah kusta penyakit kutukan, genetik atau turunan, mudah menular, berbahaya dan seterusnya. Banyak orang yang sedang maupun pernah mengalami kusta ditolak di lingkungannya bahkan hingga diasingkan. Mereka dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Gowa, dr. Gaffar tak membantah masih sulit untuk mengubah stigma kusta di masyarakat. Kendati di Gowa sudah Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2017 tentang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tuberkosis, Kusta dan Human Immunodeferesiensi Virus Aquired Immunodefesiensi Desease Sydrom, menurutnya hal itu belum cukup. Menurutnya butuh pelibatan lintas sektor dinas dan kementerian yang dapat dimulai mulai dari desa.
“Sisa dukungan penguatan dan peningkatan kapasitas yang ada. Isu kusta ini dekat sekali dengan masyarakat,” jelasnya.
Menurut dr. Gaffar berbagai aspek yang membuat stigma sulit diperangi salah satunya dari aspek budaya. Di Gowa ada cerita rakyat yang berkembang, anak Raja Gowa mengalami kusta dan diasingkan ke Toraja. Di sana ada “tedong bonga” atau kerbau belang yang konon tidak dikonsumsi karena itu dijadikan obat untuk menyembuhkan kusta. Selain itu stigma bahwa orang yang mengalami kusta dianggap sebagai orang yang termakan sumpah.
“Di masyarakat ada sumpah kandala-kandala (tangan mengalami kekakuan seperti dampak orang yang mengalami kusta), itu juga susah kita lepaskan,” katanya.
Stigmanisasi yang ada sejak zaman dahulu, menurut dr. Gaffar, membuat orang yang mengalami kusta merasa sangat minder. Akibatnya banyak tidak mau berobat karena takut ketahuan sedang mengalami kusta.
Lanjut dr. Gaffar, banyak OYPMK di jalanan dengan kondisi fisik yang sudah mengalami dampak kedisabilitasan akibat peyakit Hansen. Hal itu membuat orang yang sedang dan pernah mengalami kusta seringkali mengstigma dirinya, seperti kesedihan, amarah, ataupun rasa tidak aman, yang muncul setelah mengalami peristiwa traumatis. “Itu terus terakumulasi. Kalau bahasa saya, bagasi emosinya yang harus dilepas secara kolektif," terangnya. (Anjar Sumyana)