Desa Bontomangiring di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dikenal sebagai desa ramah kusta. Desa sejauh 145 kilometer dari Makassar itu memiliki program desa KDD, kependekan dari Kelompok Difabel Desa Maju Jaya. Kelompok ini tak hanya melibatkan warga, melainkan juga kepala desa, guru, tokoh agama dan kepala puskesmas guna menyuarakan hak dan kepentingan warga dengan disabilitas, termasuk disabilitas kusta.
Hingga 2024 ini, OYPMK (Orang yang pernah mengalami kusta) di Bontomangiring tercatat sebanyak 8 orang dari 20 disabilitas desa. Beberapa di antaranya masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka aktif dalam komunitas sosial PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta). Beberapa orang yang terlibat adalah Syarifuddin. Pemuda kelahiran Bulukumba 27 tahun lalu itu adalah salah satu OYPMK.
Ditemui di Makassar akhir Oktober 2024 lalu, Syarifuddin menceritakan bahwa kusta yang ia alami terjadi saat usianya 19 tahun. Saat itu, ia tak menyadari kemunculan jerawat di wajahnya adalah kusta. Bahkan keluarganya menyebut kalau Syarifuddin diguna-guna, sehingga dilarikan ke dukun.
"Gejala awal yang saya rasakan munculnya seperti jerawat yang berair di dalamnya akan tetapi tidak gatal dan mati rasa jika terkena matahari dan kalau memakan makanan yang dikukus akan semakin bertambah lukanya. Saya sempat mengalami kekakuan pada seluruh tubuh. Pada saat didiagnosa penyakit kusta disitu saya sangat tidak menerima," ungkap Syarifuddin.
Syarifuddin bahkan sempat memilih untuk menutup diri dari lingkungannya selama lebih lebih dari 2 tahun sekalipun tak ada satu pun orang di desanya yang melakukan stigma. "Pandangan orang sekitar tidak ada masalah. Justru sebaliknya saya mendapatkan perilaku baik dan saya diberikan motivasi agar berobat dengan baik agar bisa sembuh," lanjutnya.
Hanya saja, saat itu ia mengaku malu bergaul dengan teman-teman dan tetangganya. "Belakangan saya baru tahu kalau kusta bukan penyakit keturunan. Buktinya saya didiagnosa mengalami kusta, padahal dari orang tua tidak ada yang mengalami kondisi tersebut begitu pun dari kakek nenek kami. Di keluarga hanya saya seorang diri yang mengalami penyakit ini," ungkapnya.
Selama itu pula Syarifuddin menjalani masa pengobatan hingga 2007. Keinginannya untuk sembuh menguat setelah ia tahu bahwa kusta dapat disembuhkan. "Saya baru tahu penyakit yang saya alami itu dapat disembuhkan dan ketika sudah itu tidak berulang lagi, hingga akhirnya semangat saya kembali tergugah untuk kembali beraktivitas seperti sedia kala atau seperti pada masyarakat umumnya," kata dia.
Semangatnya bertambah setelah Syarifuddin bergabung dengan PerMata. Dalam komunitas sosial ini ia merasa menemukan ruang untuk kembali menemukan jati dirinya. "Di Permata ini menemukan banyak hal-hal baru salah satunya dimana saya menemukan teman baru yang terus memberikan saya inspirasi dan dukungannya," jelas Syarifuddin.
Karenanya Syarifuddin merasa sangat bersyukur. Sekalipun kondisi fisiknya kini tak lagi sempurna, ia tidak bisa tidak senang masih dapat mencari nafkah. "Saya sangat bersyukur, meski dengan keterbatasan saya mampu bekerja. Sekarang saya bekerja sebagai petani dan peternak," sebutnya.
Ia kini bertekad untuk tetap sehat agar dapat terus bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. "Saya harus semangat, kuat dan sehat agar dapat terus membantu kedua orang tua yang masih hidup. Kusta bisa disembuhkan, tetap merawat diri makan-makanan yang sehat dan bergizi," pesan Syarifuddin.